Ticker

10/recent/ticker-posts

Menyoal RUU Rasa Nuklir


Pemerintah dan DPR menyiapkan Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT). Menariknya, pengembangan energi baru nuklir, justru disusun lebih rinci dibandingkan energi terbarukan.

Energi nuklir seolah-olah menjadi andalan masa depan pengganti sumber energi fosil. Lihatlah, sejumlah pasal yang membahas mulai pembangunan, pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), hingga rencana pembentukan BUMN untuk kegiatan pertambangan bahan galian nuklir.

Tak sampai di sana, pemerintah juga menyiapkan badan pengawas tenaga nuklir yang nantinya akan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Sementara, pembahasan energi terbarukan dari panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, sampah, hingga limbah, mendapat porsi yang dua pasal.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menilai isi RUU EBT tidak tepat lantaran tidak menjawab persoalan utama energi terbarukan. Padahal, tujuan utama pembentukan RUU EBT untuk menurunkan emisi karbon.

"Seharusnya, RUU Energi Terbarukan. Bukan RUU EBT," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin, 10 Oktober 2022.

Kalau pun pemerintah ingin mengembangkan nuklir atau PLTN, ia menyarankan sebaiknya merevisi UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Begitu pula kalau ingin mengembangkan batu bara, yaitu lewat UU Mineral dan Batu Bara.

Dengan begitu, RUU EBT bisa fokus pada pengembangan energi terbarukan yang selama ini telah tertinggal jauh dibandingkan negara lain.

Apalagi, potensi Indonesia sangat besar, yakni mencapai 3.800 Gigawatt (GW) hanya dari energi terbarukan. Sementara saat ini, yang berhasil dikembangkan kurang dari 10 GW.

Padahal, pemerintah berkomitmen menurunkan emisi dari karbon hingga 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan negara lain pada 2030 nanti.

"Untuk mencapai net zero emission, pemerintah harus membangun lebih dari 700 GW. Tantangan kita adalah dalam 30 tahun mendatang, harus dibangun 20-25 GW pembangkit energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil," jelas Fabby.

Tentu, rencana tersebut di atas membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Karenanya, pemerintah harus mulai fokus sejak dini terhadap pengembangan energi terbarukan.

"Ini menjadi alasan mengapa kita harus memprioritaskan pengembangan energi terbarukan," kata Fabby.

Terkait dengan pendanaan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkap kebutuhan untuk pengurangan emisi karbon mencapai US$266 miliar setara Rp3.990 triliun sampai 2030. Apabila hanya mengandalkan APBN, tentu cita-cita mengurangi emisi karbon tidak akan tercapai.

Karenanya, perlu ada peran swasta, termasuk sumber pendaan lainnya, seperti APBD, pungutan ekspor energi tak terbarukan dan sebagainya yang menurut Fabby, tepat dituangkan dalam RUU EBT.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memberikan catatan dalam pengembangan nuklir di RUU EBT. Pertama, faktor kesiapan transmisi dan distribusi milik PLN dalam menyerap listrik dari nuklir.

Hal ini, menurut dia, untuk mengantisipasi jaringan PLN yang tidak siap apabila terjadi black out yang bisa berbahaya bagi PLTN. "Ini bisa mengakibatkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," terang dia.

Kedua, faktor keamanan. Pemerintah harus memastikan sejauh mana kesiapan pembangunan PLTN agar tetap aman dan tidak menimbulkan bencana.

Ketiga, faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Sebab, kegiatan tersebut sangat berisiko. Karenanya, dibutuhkan SDM yang betul-betul mumpuni dan bisa menguasai teknologi nuklir.

Keempat, faktor penanggulangan limbah nuklir. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa limbah yang dihasilkan nuklir benar-benar tersimpan dengan aman dan kuat.

Kelima, faktor geografis. Pemerintah juga harus bisa memastikan daerah yang akan dibangun PLTN bebas dari gempa dan gangguan alam yang bisa merusak PLTN.

Keenam, faktor sosialisasi dan penerimaan masyarakat. Dalam hal ini, Mamit menilai pemerintah harus mendapatkan persetujuan masyarakat dalam pembangunan PLTN, sehingga tidak akan menimbulkan masalah di masa depan.

Post a Comment

0 Comments